NGATIR, TRADISI BERBALUT RELIGI
Ngatir adalah tradisi turun-temurun yang hidup di dalam masyarakat Lebak Banten, terutama di kecamatan Cipanas, dengan ciri khasnya yaitu ngahanceng (bahasa Sunda). Ngahanceng artinya mengantarkan berbagai makanan dalam bakul yang besar ke mesjid. Tradisi ini dilakukan dua kali dalam setahun yaitu bulan ruwah dan mulud.
Sehari sebelumnya dari mulai sore sudah menyeruak aroma ayam bakar dari setiap dapur penduduk. Mereka membuat bakakak (ayam panggang 1 ekor utuh). Bakakak adalah makanan utama yang dipandang wajib ada. Tidak heran bila sampai malam aroma ayam panggang terus-terusan tercium silih berganti dari mana asalnya, karena mereka memasak tidak bersamaan.
Selain bakakak, makanan untuk ngahanceng juga dilengkapi dengan nasi yang biasanya dimasak dari 10 liter beras, terbayang kan besarnya bakul yang disiapkan? Juga lauk-pauk lain, ada sayuran, telur balado, kerupuk, dan lain-lainnya 7 sampai 10 macam makanan. Setiap makanan dibuatkan cukup untuk 7 orang. Nah pembagian 1 bakul makanan tergantung daerah masing- masing. Di kampungku setiap bakul dibagikan kepada 7 orang laki-laki, hanya kaum laki-laki, perempuan tidak berhak. Hmm.. sedih juga perempuan tidak dikasih. Sedangkan laki-laki bayi sekalipun mendapat bagian bila dibawa ke mesjid.
Bakul makanan akan diantarkan pagi-pagi sekali ke mesjid, jadi ibu-ibu harus bangun tengah malam menyiapkan semuanya. Sehingga malam menjelang ngatir seperti saat sahur di bulan ramadhan. Karena di setiap dapur sudah ada aktivitas ibu-ibu. Sungguh mengharukan keiklasan ibu-ibu memasak malam-malam demi lestarinya budaya tersebut.
Keesokan harinya bapak-bapak mengantarkan bakul ke mesjid, sehingga terkumpullah sejumlah banyak bakul . Supaya bakulnya bisa kembali maka pemiliknya menamai atau menandai bakulnya.
Setelah terkumpul pada waktu yang telah ditentukan warga berdoa dulu dipimpin pengurus DKM masing-masing mesjid. Mereka mengharapkan berkah dari Sang Pencipta dari apa yang mereka lakukan. Mereka percaya tradisi ini adalah praktik baik bersodaqoh dan berbagi dalam jalinan silaturrahmi yang kuat. Diharapakan pada hari ini semua merasakan hidangan yang istimewa, kaum duafa diharapkan mendapatkan kebahagiaan dan yang berbagi mendapatkan berkahNya.
Selesai berdoa maka warga berbaris, masing-masing barisan 7 orang, biasanya mereka memilih yang berdekatan rumahnya agar mudah membagikan makanan. 1 bakul 7 orang, dan mereka bawa pulang ke tempat tinggal mereka untuk dinikmati bersama anggota keluarga di rumah masing-masing, atau babacak (makan ramai-ramai). Dengan babacak warga yang tidak mendapat bagian karena tidak ada laki-laki di keluarganya bisa ikut menikmati keseruan dan kenikmatannya.
Demikian tradisi ngatir yang patut dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur. Walapun seiring berjalannya waktu ada perubahan pemikiran tentang makanan yang dimasak. Di beberapa daerah warga tidak lagi memasak semua beras tapi hanya 2 atau 3 liter saja, sisanya dibiarkan bentuk beras yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik masing-masing 1 liter. Begitu pula lauk pauknya berupa bahan mentahan seperti mie instant, kopi, kerupuk dan sebagainya. Mereka berpendapat daripada makanan menjadi basi lebih baik seperti itu. Barokallaahu fikum..
Mantul bunda.. Lebih lengkap isinya..
BalasHapusMakasih neng.. jadinya pengen nulis apa aja hahahaha...
HapusAsyik sekali membaca tulisan ini. Saya benar-benar mendapat wawasan baru. Tulisan Bu Tini mampu membuat saya membayangkan bagaiamana situasi masyarakat disana ketika menyiapkan dan melakukan tradisi ngatir. Saya bisa mencium aroma ayam bekakaknya heheheh.
BalasHapusBagus sekali bu.
Hehehe.. makasih apresiasinya mas Brian...
Hapusmantap bunda...
BalasHapusMakasih sudah mampir..
HapusTradisionalisasi terkadang diperlukan ya
BalasHapusIya pak krn nilai dan hikmahnya...makasih sudah mampir..
Hapusayam kampung bakakak kesukaan ku blogger kampung...……….tulisan yang harus diletarikan juga.mantaaap heheh
BalasHapusHahahha ada juga nih istilah blogger kampung...
HapusSiip lah da urang mah urang kampung , jadilah blogger kampung hehehe...
Kreatif heheheπ
BalasHapusAyo menulis...
HapusTradisinya hampir sama dengan di Jogya bu Tini, kalau di Jogya namanya mauludan
BalasHapusSayacseakan bisa membau aroma masakan bu, dan kebayang betapa rukun dan damainya masyarakat, saling berbaur dalam suasana penuh kehangatan makan bersama,,, tapi kok sayang ada perbedaan gender,,, top sukses
BalasHapusItulah uniknya knp hanya kaum laki2 yang mendapatkan bagian, tapi kaum perempuan menerima saja dg lega toh nanti juga kebagian di rumah hehe..
HapusBikin ngiler cerita aroma ayam bakar πππ
BalasHapusIya bu hehe.. makasih sudah mampir
HapusMengangkatvtradisi lokal itu mantul bu πππ
BalasHapusIya pak Dan, biar saling mengenalkan tradisi dan budaya lewat tulisan..
HapusSangat senang sekali bisa mempunyai tradisi seperti itu di kp.sendiri.bisa berbagi satu sama lain,dan merasakan hangatnya kedamaian masyarakat.
BalasHapusBetul neng dahlia... semoga tradisi kita lestari yah..
HapusTradisi yang hampir sama dengan di Lombok saat maulid, Bu. Sajiannya pun sama-sama khas daerah. Alhamdulillah dapat pengetahuan baru tentang perayaan keagamaan di daerah lain.
BalasHapusWah senangnya ada kesamaan yah, kita mmng 1 Indonesia..
HapusKalau di daerah saya namanya "Ngeriung"
BalasHapusOh ada juga ya pak?
Hapus