CATATAN KEPALA SEKOLAH DAERAH TERPENCIL (Bagian 20)
HARUSKAH SENANG ATAU BERSEDIH?
Satu minggu menjelang tahun ajaran baru dimulai, kami mengadakan rapat
dinas. Tujuannya adalah mengevaluasi capaian-capaian program setahun ke
belakang dan menyusun program baru untuk tahun ajaran baru.
Tibalah pada pembahasan tentang pelaksanaan Penerimaan Peseta Didik Baru
(PPDB), sebagai salah satu program pertama pada tahun ajaran baru 2017/2018. Bu
Een menyampaikan kabar gembira, bahwa panitia sudah melakukan strategi home to home atau mendatangi ke rumah-rumah
lulusan dari kedua SD yang ada di desa kami. Cara ini seperti yang kami lakukan
tahun kemarin.
“ Alhamdulillah, Bu. Kalau jadi akan ada penambahan jumlah siswa dari
jumlah tahun kemarin. Sekarang yang lulus dari kelas 9 ada 30 anak, nah diperkirakan
yang masuk ada 48, dari SD tetangga sebanyak 36 dan dari SD satunya lagi ada
12,” bu Een menjelaskan.
“Syukurlah, semoga saja mereka tidak berubah pikiran. Karena memang mereka
ada pada usia wajib belajar, maka tugas kitalah untuk merangkul dan membujuk mereka agar mau
bersekolah. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ibu Panitia PPDB
yang sudah melakukan gerilya dengan semangat yang tinggi,” responku.
Pada kesempatan itu aku menyampaikan bahwa selama tiga hari mendatang kami
akan mengadakan workshop penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP)
tahun ajaran Baru. Guru-guru diharuskan menyiapkan buku paket, silabus dan buku
folio begaris yang sudah dibagikan. Mereka menyambut baik rencana ini.
Selama tiga hari berikutnya kami mengadakan workshop pembinaan kompetensi
guru khusus dalam menyusun KTSP. Kami harus menghasilkan Dokumen I dan II.
Dokumen I berjalan dengan cepat karena aku sudah menyiapkan draftnya. Tinggal revisi
sedikit-sedikit berdasaekan masukan dari berbagai pihak, termasuk Komite sekolah.
Penyusunan Dokumen II agak lama, karena kami harus memberikan bimbingan
terlebih dahulu tentang penyusunan Progran Tahunan, Program Semester, dan
Rencana Pembelajaran. Tentang silabus, kami masih adopsi silabus model dengan
melakukan penyesuaian di sana-sini. Syukurlah dalam tiga hari sudah terkumpul contoh RPP tiap Mata Pelajaran di
Tim Pengembang KTSP. Lalu bagian TU yang mengetik di komputer. Karena begitu
banyak isi Dokumen II tersebut maka kami memerlukan waktu yang lama untuk
mendokumentasikannya sampai penjilidan.
Seandainya sekolah mempunyai komputer lebih dari satu, mungkin akan ada
pembagian tugas diantara Tim pengembang. Namun karena sekolah ini hanya
memiliki satu laptop yang dipegang operator/ TU, maka seperti itulah yang
terjadi. Inginnya kami mengusahakan pembelian komputer dari dana BOS yang
diterima, tapi apa daya tidak akan cukup dananya. Dalam satu bulan dana hanya
tersedia sebesar 6-7 juta rupiah, apa jadinya bila dibelikan komputer. Dua per
tiga dari dana BOS habis untuk gaji guru yang semuanya honorer.
Besarnya dana BOS berbanding lurus dengan jumlah siswa. Sekolah dengan
jumlah siswa yang sedikit maka akan mendapatkan dana yang sedikit pula. Lalu bagaimana
bisa berkembangnya sekolah-sekolah kecil yang miskin di daerah terpencil seperti
ini? Saat itu , empat tahun yang lalu, aku merasakn Pemerintah belum serius memikirkan masalah-masalah komlpleks yang
dihadapi sekolah 3T.
Namun ada secercah harapan, bila jumlah siswa bertambah 10 orang saja, maka
kami akan bisa membeli 1 perangkat laptop. Semoga ini dapat terealisasi. Karena
sangat kami butuhkan untuk membantu guru-guru menyelesaikan
administrasi-administrasinya dengan baik.
Kabar Buruk
Hari pertama pada tahun ajaran baru, aku berangkat ke sekolahku dengan
harapan baru yang optimis. Namun, kabar buruklah yang kuterima ketika bu Een
menyampaikan kabar,” Bu, celaka, Bu.”
“Ada apa, Bu?” tanyaku kaget. “ Siswa kita dipaling, Bu,” katanya dengan
wajah yang memelas. “Lho? Maksudnya bagaimana, Bu? Coba jelaskan dengan tenang,
yah, ” pintaku.
“Gini, Bu. Kan di kampung yang ada SD satunya lagi itu, ada sekolah baru,
jadi otomatis semua anak yang berasal dari kampung itu pindah ke sana semua!”
ujarnya dengan nada sedih.
“ Maksudnya di sana ada SMP baru?” tanyaku.
“ Bukan SMP, Bu. Swasta itu mah, katanya Yayasan gitu,” katanya.
“Hmm.. Ibu paham. Bukan SMP. O.k. kalau yang pindah itu masih calon siswa
kelas 7, itu kita tidak bisa apa-apa. Hak mereka untuk bersekolah di mana. Namun
untuk kelas 8 dan 9 sepertinya ini salah bila sekolah baru itu juga menerima
pindahan sekolah, dan langsung membuka kelas 8 dan 9, tanpa konfirmasi. Baik akan ibu cari klarifikasi tentang ini.
Ibu akan konsultasi dengan Dinas Kabupaten, " janjiku.
Tentu saja kehilangan 25 siswa akan sangat besar dampak yang dirasakan
sekolah kami, terkait dengan besaran dana BOS yang diterima. Kehilangan 25 juta rupiah merupakan kehilangan yang sangat besar bagi sekolah kecil ini. Maka
semakin kecillah kemampuan biaya operasional kami, bagaimana kami harus
mengaturnya? Haruskah tarif honor dikurangi? Memikirkan hal itu membuat hati
ini sangat prihatin.
Di sisi lain, sebagai insan pendidikan, dengan adanya sekolah baru di
daerah terluar, terpencil, aku merasa senang. Karena pastinya akan menanggulangi
masalah putus sekolah, bersebab akses yang jauh dari masyarakat tersebut.
Hmm.. namun di sisi lain, ini adalah PR yang cukup menguras pikiran. Bagaimana strategi yang harus kami laksanakan?
(Berambung)
Semangat dalam perjuangan demi kepentingan sekolah agar bisa maju meski di daerah terpencil 🙏
BalasHapusMakasih supportnya Bu..
HapusTerus semangat Ambu...saya selalu menanti kelanjutan ceritanya...kayaknya bakal jadi satu novel ini Ambu...👍👍
BalasHapusMantap Ambu. Sudah banyak tulisan kegiatan kepala sekolahnya.
BalasHapusMakasih Bu Sri...
HapusLuar biasa nih ceritanya
BalasHapusMakasih Pak...
HapusPerjuangan yang luarbiasa
BalasHapusTapi lama2 jd biasa hehe..
Hapus