CATATAN KEPALA SEKOLAH DAERAH TERPENCIL (Bagian 21)
Hari- Hari Terakhir yang Menguras Pikiran
Hari ketiga pada
tahun ajaran baru, Bu Een membawa kabar tentang kelanjutan masalah pindahnya
siswa secara masal itu. Ia bilang
bahwa kemarin kepala sekolah dari sekolah yang baru itu, sebut saja pak X,
datang ke rumahnya, atas permintaan pak Kades. Karena sebelumnya Bu Een
menceritakan permasalahan yang dihadapi kepada pak Kades, maka beliau
menyarankan agar pak X datang ke SMP,
dan berbicara dengan kepala dingin agar
semuanya bisa clear. Namun pak X
tidak bisa datang pada jam kerja, karena
harus mengajar, maka sepulang sekolah ia mendatangi rumah bu Een.
“ Lalu bagaimana
kelanjutannya, Bu?” tanyaku penasaran. “Intinya mah, ia gak mau disalahkan atas
pindahnya siswa-siswa kita, karena ia tidak melakukan paksaan. Begitu katanya,
Bu, “ kata bu Een.
“ O.k. kalau itu
tentang kelas 7 yang baru, alasan itu bisa diterima. Lalu dijelaskan nggak
kenapa sampai menerima kelas 8 dan 9 juga? Padahal tentu ijin operasionalnya kan baru membuka kelas
7,” tanyaku semakin penasaran.
“ Dia bilang
bahwa sekolah itu bukan sekolah baru tapi kelas jauh dari sekolah yang sudah ada di kampung lain, Bu. Jadi tidak salah bila menerima kelas atas juga, begitu
katanya, Bu, ” jelas bu Een.
“ Oh gitu yah?
Hmm masalah itu, Ibu belum paham. Tapi hasil konsultasi dengan Dinas sependapat
sama Ibu, untuk anak kelas 7 memang hak mereka untuk sekolah di mana saja.
Namun kelas 8 dan 9 harus dipastikan kelanjutan nasibnya. Jangan sampai dari
SMP sudah dikeluarkan, terus di sekolah baru karena hanya ada 4 atau 5 orang
per kelas, jadi gak menentu nasibnya,” ujarku.
“Gimana ya, Bu?
Boleh gak kalo nanti saya sama guru yang lain mendatangi rumah anak-anak yang
pindah itu? Mau saya bujuk,Bu. Soalnya saya dengar, masa anak beda tingkat
kelas tapi duduknya di satukelaskan. Yang ngajarnya hanya berdua, kasek sama
guru satu lagi, kan gak bener itu belajarnya, “ usul Bu Een.
“ Boleh saja,
Bu.Coba saja ngobrol dari hati ke hati sama anak dan orang tuanya, yah, semoga
ada keputusan terbaik,” jawabku sambil merasa kagum akan semangat guru yang
satu ini.
“Bu, boleh tanya
sesuatu gak? Ibu pernah bilang kalau dana BOS itu ditentukan oleh banyak
sedikitnya siswa kan?” tanya bu Een.
“ Betul, Bu,”
jawabku. “ jadi nanti uang BOS kita berkurang banyak ya, Bu?” Bagaimana nasib
kami, Bu?” lanjutnya dengan nada tertekan.
Mendengar nada
itu ada rasa perih menyayat hati, ibarat mendengar keluhan susah anak
kandungku. “ Hmmmm.. pahitnya memang yang harus kita antisipasi, ya Bu. Ibu
juga terus memikirkan hal ini. Dana Bos akan berkurang 25 juta rupiah, artinya,
besaran dalam 1 bulannya kan berkurang sekitar 2 juta rupiah. Dengan demikian,
kita harus merancang perencanaan anggaran sematang mungkin. Bisa jadi akan ada
pengurangan kegiatan-kegiatan yang memerlukan dana yang besar. Tetap
dilaksankan, namun dengan mengurangi nilai atau frekuensinya. Ok, minggu depan
kita akan rapat untuk membahas hal ini yah. Namun satu hal yang harus
diketahui, Ibu tidak akan tega mengurangi tarif honor guru. Tenang saja, tetap
semangat bekerja. Sampaikan kepada teman-teman yah. Jangan sampai mereka juga
resah,” pungkasku menjelaskan.
Menyusun Strategi
Tiga hari kemudian,
aku selesai menyusun draft Rencana Kerja dan A ggaran Sekolah Tahunan. Memang
ada beberapa kegiatan yang disederhanakan. Misalnya pendanaan kegiatan MGMP.
Waktu yang lalu sekolah bisa memberi ongkos plus uang saku, jumlahnya sebesar
Rp 80.000,-/ 1 kali berangkat. Karena anggota MGMP harus iuran untuk pengadaan
konsumsi dan lain-lainnya. Sekarang, sekolah hanya bisa memberi uang saku saja
sebesar lima puluh ribu rupiah. Hal lain yang dikurangi adalah dana konsumsi
sehari-hari; tidak ada lagi konsumsi snack, hanya disediakan kopi teh saja.
Biar konsumsi bawa bekal dari rumah masing-masing. Syukurlah semua guru
memahami dan menyetujui draft RKAS yang
akan ditetapkan.
Kami berharap
semoga roda kehidupan sekolah kami baik-baik saja. Untuk itu aku usulkan membuat
warung koperasi sekolah, untuk memback-up kebutuhan konsumsi sekolah. Dan
sebagai dana awal aku menyumbang lima ratus ribu rupiah untuk modal warung.
Ibu-ibu guru sangat semangat menyambut baik usulan itu. Besoknya juga sudah
terealisasi ada warung koperasi yang tempatnya bersatu dengan ruang kantor.
Aku melihat ada
ruang gudang tempat menyimpan barang-barang bekas, meja kursi yang rusak,
lemari yang rusak dan lain-lain. Aku cari data tentang inventaris barang.
Walaupun tidak tercatat, kata penjaga sekolah, barang-barang itu sudah lebih
dari 5 tahunan ada di gudang. Karenanya aku minta keluarkan semua barang. Yang
kiranya bisa dijual dipisahkan, yang benar-benar rusak dibuang saja. Setelah
dibersihkan nampaklah sebuah ruangan dengan ukuran kurang lebih 2x 5 meter.
Kemudian ruang itulah menjadi warung koperasi.
Benarkan Aku Mutasi?
Kehidupan sekolah
pada tahun ajaran baru sampai ke penghujung bulan Juli. Aku merasa optimis kami
masih bisa melangkah dalam segala keterbatasan, dengan semangat mengabdi yang
tulus. Sementara beredar isu akan ada rotasi kepala sekolah. Berhembuslah isu
aku akan dimutasikan ke sekolah yang lebih dekat dari rumahku.
( Bersambung)
siap menunggu sambungangannya ...
BalasHapusMakasih Bu Nung..
HapusMemoar lebih hidup dengan adanya dialog.
BalasHapusSiap Pak D, sem9ga bisa lebih baik.
HapusSelain kesalahan minor penulisan tanda baca, masih butuh usaha 'menghidupkan' dialog dengan menambahkan 'aksi', Ambu. Tetap semangat menunggu kelanjutan cerita serunya.
BalasHapusHmm iya Mas, aksi belum ambu amalkan ilmunya yah? Hehe.. makasih masukan berharganya
HapusWah dpt ilmu menyusun anggaran BOS yg kdg bikin pusing
BalasHapusbanyak makna dalam perjalannanya ambu. luar biasa
BalasHapusMakasih apresiasinya Pak Den
Hapus