TERMAAFKAN

 

“Siang Bu,” Suara di telepon sang sekretaris dari seorang satpam.

“Siang, ada apa, Pak Anto?” jawab sang sekretaris.

“ Ada yang ingin ketemu dengan Pak Direktur, namanya bu Laras,” jawab pak Anto.

“ Bu Laras dari perusahaan mana?” tanya sang sekretaris.

“Bukan rekan bisnis, Bu. Tapi seseorang yang ingin menemui Pak Direktur, katanya penting sekali. Ia bersama anak usia sembilan tahun. Ia bilang sampaikan saja nama Laras, pasti Pak Dewo  akan tahu katanya,” jelas sang satpam.

“Baik nanti saya sampaikan. Sekarang Bapak sedang ada meeting dengan rekan bisnisnya. Mungkin dua jam lagi selesai,” kata sang sekretaris.

Sementara Laras dan Ihsan menunggu di ruang sekuriti, Laras merasa lega akhirnya menemukan alamat Dewo. Tadi pagi ia mendatangi kantor Dewo yang dulu, ternyata Dewo sudah pindah. Untungnya satpam yang ia temui mengenal Laras walaupun samar. Ia yang memberikan alamat Dewo di perusahaan barunya.

“Bu, sebenarnya ibu ini keluarga pak Direktur yah?” tanya sang satpam ingin memastikan.

Laras bingung menjawab apa, akhirnya ia berkata,”Ya,Pak. Saya kerabat jauh beliau dari kampung. Saya mendapat alamatnya dari satpam di kantor lama Pak Dewo, yang masih mengenali saya. Dulu saya kerja di kantor Pak Dewo yang lama,” kata Laras berusaha menghilangkan keraguan pak satpam itu.

“Oh, begitu, Bu? Baik, kalau Ibu mau menunggu sekitaran dua jam, silahkan tunggu di sini aja, ya,” kata sang satpam.

“Iya, Pak. Terimakasih ya,” sahut Laras sambil membetulkan letak kepala Ihsan yang tidur di pangkuannya.

Rupanya Ihsan mabuk perjalanan. Karena baru pertama kali ia melakukan perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta. Lagi pula semalam ia tidak bisa tidur nyenyak, sering terbangun. Mungkin karena ia tidak sabar akan bepergian untuk bertemu ayahnya.

Sang satpam memperhatikan paras anak laki-laki itu,” Koq mirip Pak Direktur. Tampan sekali anak itu. Walaupun badannya kurus tapi tetap saja ia terlihat cakep,” bisik hati sang satpam ketika memperhatikan wajah Ihsan.

 “ Apakah ini anak Pak Direktur yah? Tapi ia kan gak punya istri. Atau apakah wanita ini istrinya? Tapi masa iya, penampilannya sangat sederhana, sebagaimana kebanyakan perempuan dari kampung. Ia cantik sih. Tapi terlihat lebih tua dari Pak Direktur. Ah, kenapa gue jadi baper gini yah?” pikiran sang satpam larut dalam rasa penasaran. “Oh iya, ia bilang kerabat Pak Direktur. Bisa jadi sih, karena kerabat jadi ada kemiripan anak ini dengan Pak Direktur,” sambungnya.

Bagi Laras, waktu dua jam itu begitu lama ia rasakan. Ihsan pun sudah terbangun. “Bu, masih lama yah?” tanyanya tidak sabar.

“Sebentar lagi, Nak. Sabar yah,” kata Laras. “Kamu makan dulu yah,” sambungnya.

“Nggak, Bu. Ihsan kan puasa. Ihsan kuat koq,” Ihsan menolak tawaran Laras.

“Tapi kamu sakit, Nak. Gak apa-apa kamu batalin puasa, nanti bisa diganti puasanya di hari lain bulan depan,” bujuk Laras.

“Ihsan belum lapar koq, Bu. Ihsan cuma tidak sabar pengen ketemu sama Bapak,” jawab Ihsan.

“Kring, kring,” suara telepon ruang sekuriti berbunyi.” Halo, selamat siang,” jawab sang satpam.

“Pak Anto bawa tamunnya masuk yah.” Ternyata telepon dari sang sekretaris. “ Baik, Bu,” jawab pak Anto.

“Mari, Bu. Ibu sudah boleh masuk ke kantor,” kata pak Anto. Laras dan Ihsan pun dibawa masuk ke ruangan direktur. Laras merasa minder juga berada di tempat itu. Terlebih Ihsan, ia terlihat amat kikuk. Ia gemetar karena takut ketika ia masuk lift yang baru ia alami. Ia memegang erat tangan Laras. Untunglah hanya tiga lantai mereka naik.

Hati Laras begitu berdebar. Keringat dingin pun ia rasakan. Betapa tidak, demi anaknya ia rela berkorban untuk menemui laki-laki yang selama ini melukai hatinya. Laki-laki yang telah merampas rasa cinta yang ia miliki hingga tak bersisa. Walaupun demikian berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Terlebih lagi, memikirkan bagaimana sikap yang akan ia terima dari Rosa, madunya.

“Bismillaah, Ya Allah. Kuatkan hati hamba untuk melangkah dalam jalan yang benar. Hamba hanya ingin anak hamba hidup bahagia. Ia berhak mendapatkannya.” Begitulah pikiran Laras berkecamuk sepanjang naik lift itu.

Pintu lift pun terbuka. Pak satpam mengetuk pintu sebuah ruangan yang luas. Sang sekretaris menyambut mereka. Ada rasa penasaran terlihat di wajahnya. Setelah mempersilahkan Laras dan Ihsan duduk, ia pun menanyakan tujuan mereka menemui pak direktur. Laras menjelaskan bahwa ia kerabat pak direktur yang datang dari kampung yang jauh.

“Mohon Ibu sampaikan saja, saya, Laras, mau bertemu dengan Pak Dewo, Insya Allah beliau tahu saya,” kata Laras.

“Baik,Bu. Tapi ibu hanya punya waktu 10 menit yah. Karena tidak lama lagi beliau akan ke luar, ada janji meeting degan relasi bisnis yang lain,” sang sekretrais menjelaskan.

“Siapa? Laras? Di mana?” tanya Dewo bertubi-tubi ketika sang sekretaris meneleponnya.

“Betul, Pak. Bu Laras. Beliau bersama putranya, di ruangan saya,” jawab sang sekretaris.

Tidak ada jawaban lagi dari Dewo. “Hallo, Pak. Hallo,”kata sang sekretaris.

Dewo gemetar ketika ia mendengan nama Laras disebut. Mungkinkah Laras, istriku?  Alih-alih menjawab telepon ia malah tertegun karena kagetnya.

Untungnya sang sekretaris sabar menunggu Dewo bicara lagi, “Baik suruh masuk,” kata Dewo pada akhirnya.

Segera Laras dan Ihsan dibawa masuk ke ruangan direktur. Betapa terkesiap Dewo ketika melihat Laras ada di hadapannya. Sejenak ia tidak mampu berkata apa-apa. Ia tak percaya atas apa yang dilihatnya. Sedangkan Laras hanya menunduk dipandangi seperti itu. Ia takut Dewo memarahinya dan menyuruhnya pergi.

“Laras?” ujar Dewo gemetar. “Oh, Larasku. Apakah aku mimpi?”

“Iya, Mas. Aku Laras,” jawab Larasa lirih dengan suara bergetar.

“Ya, Allah. Alhamdulillaah. Laras, akhirnya kau datang juga,”seru Dewo dalam pekik bahagia. Ia pun mau memeluk Laras. Namun Laras mundur.

”Maaf Mas, kita bukan muhrim lagi,” tolak Laras.

“Oh, eh, maaf. Maafkan aku Laras,” kata Dewo menahan kecewa.

“Maaf sebelumnya mas. Aku datang ke sini hanya mau mengantar Ihsan. Ia anak kita, Mas,” kata Laras.

Dewo pun memperhatikan anak laki-laki itu. Wajahnya memang mirip dengannya, “Ya, Allah. Ini anakku, Laras? Kata Dewo tangannya meraih tangan Ihsan. Lalu dipeluknya anak itu dalam rasa haru yang tak tertahankan. Membuncah segala rasa di dada Dewo. Ia pun menitikkan air mata bahagianya.

“Iya, Mas.  Namanya Ihsan, usianya sudah 9 tahun. Ia terus meminta ketemu sama kamu,” jelas Laras.

“Ya Allah, Nak. Ini Bapakmu, Nak. Maafkan Bapak ya, nak,” kata Dewo tak mampu lagi berkata banyak karena larut dalam rasa haru. Sedangkan Ihsan merasa bahagia karena akhirnya bertemu juga dengan ayahnya. Ia tak mau lepas dari pelukan ayahnya.” Bapak, Ihsan kangen sama Bapak,” katanya singkat sambil mempererat pelukannya.

Laras sangat bahagia melihat putra tersayangnya begitu bahagia. Walau di satu sisi hatinya sedih karena sepertinya akan kehilangan putranya.

Hati Dewo pun dipenuhi rasa bahagia yang tak terhingga. Sehingga ia meminta sang sekretaris membatalkan perjanjiannya dengan relasi bisnisnya siang itu. Baginya saat ini hanya ada Laras dan anaknya, Ihsan. Tak henti-hentinya ia membelai rambut putranya. Ia bangga, putranya begitu tampan dan santun. Begitu besar berkah yang ia terima hari itu.

“Laras, lebih baik kita ke rumah sekarang, yah. Biar lebih leluasa ngobrolnya.” Laras hanya mengangguk.

Dewo pun memboyong istri dan anaknya ke rumahnya yang baru. Ternyata rumahnya yang dulu ia berikan kepada Rosa. Laras baru tahu bila Rosa sudah dicerai.

Sesampainya di rumah Dewo, Laras menyampaikan maksud kedatangannya dengan lebih panjang lebar. Ia akan menitipkan Ihsan yang sedang libur panjang dari sekolahnya. Sementara ia akan kembali ke Lembang.

Tentu saja Dewo melarang Laras kembali ke Lembang. Ia ingin Laras kembali ke kehidupan Dewo sebagai istrinya. “Laras, sembilan tahun aku mencarimu kemana- mana. Aku tidak menikah lagi karena hanya ada kamu dalam hidupku. Percayalah. Aku tak akan meyakitimu lagi dengan menduakan hatiku, ”kata Dewo.

“Kamu harus tahu, aku menceraikan Rosa satu minggu setelah kepergianmu, karena aku tahu begitu jahatnya ia terhadapmu. Maafkan aku Laras. Berikan aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku padamu. Demi Ihsan, anak kita, marilah kita bersatu kembali agar Ihsan pun bahagia bersama kita,” bujuk Dewo meyakinkan Laras.

Laras hanya diam. Ia bingung apa yang harus ia putuskan. Namun melihat kesungguhan dan kesetiaan Dewo selama sembilan tahun menunggunya, lambat laun meluluhkan hatinya.

***

Selesai

#April Challange Day's 20th


Komentar

  1. Saya sangat menikmati ceritanya bund. Bagus sekali

    BalasHapus
  2. Makasih Pak Padil. Ini bagian terakhir dari beberapa cerita bersambung, hehe..🙏

    BalasHapus
  3. Sangat mengalir ceritanya, alhamdulillah masih bisa membaca cerpen karya Ambu yang luar biasa

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Biar happy, Pak D.
      Kasihan Laras sedih terus bawaannya..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENAHAN GODAAN

Kata, Rasa, dan Rupa Kehidupan dalam Akrostik

DARIK NASIHAT