Dilema

 

Semakin ditahan malah semakin tidak karuan pikiran Dewo. Ketertarikannya kepada Laras bukan hanya karena wajah Laras yang cantik, tetapi  inner beauty yang dimiliki Laras lah yang lebih memikatnya. Ia minta pendapat temannya, Edwin, Kepala Personalia kantor itu. Edwin merestui bila Dewo bermaksud meminang Laras. Edwin menilai Laras adalah wanita yang sangat ideal untuk dijadikan istri Dewo. Tentu saja Dewo menjadi besar hati untuk melangkah lebih serius terhadap Laras.

Sementara Laras tidak menyadari bila Dewo ada hati padanya. Karena tidak pernah lagi berbicara secara langsung. Ia hanya menerima tugas dari Dion, staf di kantor itu. Ternyata, selain Dewo, Dion juga menaruh hati terhadap Laras. Namun ia ragu-ragu untuk mengungkapkannya, karena secara tidak sengaja, Dion suka memperhatikan pandangan Dewo kepada Laras. Ia bisa merasakan bahwa Dewo tertarik kepada Laras.

“Hem, si Bos kayaknya menaruh hati juga sama Laras. Jadi lebih baik aku mundur teratur. Biarlah Laras bersanding dengan laki-laki yang lebih mapan. Laras berhak mendapatkannya.” Begitu selalu cara Dion menepis perasaannya kepada Laras.

Suatu sore, hujan turun dengan derasnya. Hampir semua karyawan sudah pulang. Hanya beberapa orang saja yang masih tinggal karena enggan menerobos lebatnya hujan dengan bersepeda motor. Laras nekad pulang dengan naungan payungnya. Ia menunggu metro mini di halte bus depan kantornya. Tidak ada calon penumpang lain selain dirinya.

Tiba-tiba ada mobil berhenti tepat di depannya. Lalu ia melihat sang sopir menurunkan kaca jendela depannya. Laras kaget, karena ternyata sang sopir itu adalah Dewo, atasannya.

“Laras, mari masuk. Sebentar lagi gelap, dan hujan begini entah kapan berhentinya,” Dewo mengajak Laras.

Laras merasa sungkan. Ia pun berkata, “Gak usah, Pak. Terima kasih. Sebentar lagi metro mini lewat sini.”

“Hey! Tak baik menolak ajakan saya. Ayo naik. Ini perintah!” tegas Dewo.

Laras menjadi tidak enak hati, lalu ia pun naik ke mobil Dewo. Ternyata arah mereka satu jurusan. Tentu saja Dewo sangat senang bisa bersama Laras. Namun, sepanjang jalan ia tidak berucap sepatah  kata pun. Laras menjadi serba salah. Ia pun hanya menatap kosong pandangannya ke depan. Dewo mengantarnya sampai ke mulut gang tempat kontrakan Laras.

“Terima kasih, Pak. Sudah bersedia mengantar saya,” kata Laras sambil pamit turun dari mobil.

“Ya, sama-sama, Laras. Selamat beristirahat, yah,” sahut Dewo.

“Ternyata baik sekali Pak Dewo itu. Tidak seseram yang aku bayangkan, Laras bergumam sendiri.

Sejak saat itu Laras selalu menerima pesan WA dari Dewo yang meminta pulang kantor sama-sama. Laras sering menolak. Ia tidak enak hati kepada rekan-rekan lain di kantornya. Kecuali bila banyak pekerjaan yang mengharuskan lembur sehingga sudah tidak ada metromini lewat ketika pulang kantor.

Lama-lama Laras pu merasakan ada perasaan aneh dalam hatinya. Ia merasa nyaman bila bersama Dewo. Tapi ia selalu menepis perasaan itu. Ia tahu diri siapa dirinya. Namun sikap Dewo semakin baik terhadap Laras. Ia selalu membawakan bingkisan bila pulang dari dinas ke luar kota. Laras tidak bisa menolaknya karena bukan hanya ia yang dikasih oleh-oleh. Tetapi, tetap saja ia merasa sungkan. Ia menjadi serba salah. Selalu menerima bingkisan, ia merasa itu tidak baik, tetapi menolak pun takut dikatakan tinggi hati. Dilematis sekali jadinya. Lebih-lebih, di kemudian hari Dewo membawakan bingkisan yang mahal. Sebuah gaun yang cantik. Dewo tahu bahwa hari itu hari ulang tahun Laras. Ia ingin memberi kado istimewa untuk Laras.

“Laras, tolong terimalah kado yang tidak berharga itu. Mudah-mudahan kamu bersedia memakaianya,” pesan Dewo dalam chat WA-nya. “Nanti selepas magrib, saya akan jemput kamu untuk makan malam. Kamu maukan memakai gaun itu, please!” sambung Dewo.

“Apa? Pak dewo mengajakku makan malam? Ah, apakah aku mimpi?” gumam Laras sambil menepuk pipinya. “Ternyata ini nyata. Namun, kenapa Pak Dewo mau mengajak aku makan malam? Ah, aku malu. Gak pantas rasanya aku makan malam bersama Pak Dewo,” ia bergumam.

“Maaf,Pak. Rasanya saya tidak bisa memenuhi undangan Bapak. Saya takut malu-maluin Bapak. Siapa saya, Pak. Saya gak pantas menemani Bapak,” jawab Laras dalam chat-nya dengan Dewo.

“Laras, ini perintah. Saya ingin bicara soal pekerjaan. Kalau di kantor tidak leluasa saya bicara sama kamu. Tolong jangan menolak perintah saya,” balas Dewo.

Laras pun tidak bisa menyampaikan alasan lagi untuk menolaknya. Dengan berat hati ia mengabulkan undangan Dewo. Jam tujuh malam Dewo menelepon Laras, bahwa ia sudah menunggu di mulut gang. Laras pun bergegas menemui Dewo. Mereka berangkat ke sebuah restoran yang tidak terlalu mewah. Sengaja Dewo mengajaknya ke sana agar Laras tidak terlalu sungkan.

Sesampainya di restaoran, Dewo baru menyadari betapa cantiknya Laras dalam balutan gaun muslimah yang ia berikan sebagai kado. Ia pun berkata,” Laras, selamat ulang tahun, yah! Usiamu sekarang 19 tahun bukan?”

Laras tersipu malu. Ia membalas ucapan Dewo sambil menunduk,”Terima kasih, Pak. Saya saja gak ingat hari ulang tahun saya.”

“Laras, ini bukan di kantor. Bersikaplah lebih bebas tidak usah sungkan-sungkan begitu. Saya akan merasa sangat dihargai bila kamu mau menemani saya ngobrol di sini,” pinta Dewo.

“Baiklah,Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Laras.

“Well, nanti dulu soal itu. Sekarang silahkan pilih menu makan yang mau kamu pesan,” ujar  Dewo.

“Ah, saya ikutan Bapak saja. Apa pun saya suka koq,” jawab Laras.

“Oh, baiklah,” jawab Dewo. Lalu ia memanggil waitress. Tidak lama kemudian sang pelayan itu mengantarkan minuman segar sebagai pembuka, sambil menunggu makanan utamanya.

“Laras, tadi kamu menanyakan apa yang bisa kamu bantu, bukan?” Dewo membuka kembali percakapan mereka.

“Betul,Pak. Barangkali ada yang bisa saya bantu,” jawab Laras.

“Laras, tolong kamu jujur yah sama saya. Apakah kamu sudah punya calon suami?” tanya Dewo.

Jleb! Laras merasakan dadanya seperti ditonjok. Ia tersipu malu. “Em.. , saya belum punya, Pak. Saya belum kepikiran untuk punya suami. Belum siap, Pak,” jawab Laras ragu.

“Kenapa belum siap? Kamu sudah pantas koq untuk segera menikah. Tidak baik gadis terlalu lama hidup single,” kata Dewo.

“Saya masih memikirkan Ibu saya. Saat ini hanya untuk Ibu saya tujuan hidup saya. Saya ingin membahagiakan beliau dulu sebelum saya berumah-tangga,” Laras menjelaskan alasannya.

“Baik, kamu sangat berbakti kepada orang tuamu. Ayah kamu memangnya sudah tiada? Eh, maaf,” tanya Dewo.

“Betul, Pak. Ayah saya meninggal ketika saya kelas 11. Seterusnya kami hidup berdua. Ibu saya yang bekerja keras membiayai sekolah saya. Jadi sekarang saatnya saya membalasnya. Saya ingin membahagiakannya,” jawab Laras panjang lebar. Ia sudah berani untuk bicara dengan kepala tegak.

“Oh, begitu rupanya? Hatimu mulia, Laras. Saya suka sama gadis yang berbakti kepada orang tuanya,” kata Dewo sambil menatap Laras. Mata mereka pun beradu pendang. Bergemuruh rasa di dada yang Dewo rasakan. Benar, ia telah jatuh cinta kepada Laras.

Pun Laras. Ia merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Saat beradu pandang, ia mengakui bahwa begitu tampan laki-laki di hadapannya. “Astagfirullaah, ampuni hamba-Mu ini, ya Allah,” Laras tersadar dari kekeliruannya.

Sambil menyantap makan malam, pikiran mereka terbang di alam lamunan masing-masing. Tanpa bicara. Sesekali Dewo mencuri pandang kepada gadis cantik di depannya. Bulat tekadnya untuk segera melamar Laras. Namun, malam itu belum berani ia ungkapkan kepada Laras. Ia berharap ada saat yang sangat tepat untuk menyampaikan isi hatinya.

“Bu, Dewo mohon, Ibu restui maksud Dewo untuk meminang gadis pilihan Dewo. Dewo yakin ia gadis yang sangat baik, solehah, dan layak menjadi istri Dewo. Ibu doakan saja Dewo akan bahagia bila menikah dengannya. Dewo yakin ibu tidak akan kecewa,” pinta Dewo kepada ibunya.

“Baiklah,Nak. Ibu percaya sama pilihanmu. Kamu sudah dewasa. Kamu sudah bisa menilai gadis mana yang baik dan tepat untuk kamu jadikan istri,”sahut ibunya.

“Terima kasih, Ibu mau mengerti keinginan Dewo,” ujar Dewo.

(Bersambung)


Komentar

  1. Selamat mas Dewo sudah ada restu...

    BalasHapus
  2. Semoga Ibunya Dewo setuju Dewo melamar Laras

    BalasHapus
  3. Tidak sabar menunggu saat yang tepat untuk melamar laras .

    BalasHapus
  4. Ditunggu kisah Laras berikutnya..

    BalasHapus
  5. Jangan lupa undang aku ya Laras, nanti aku bawakan kado😊

    BalasHapus
  6. Semoga Laras bahagia selalu..
    Keren Ambu...

    BalasHapus
  7. Semoga Laras berjodoh dg Dewo..kereen ambu

    BalasHapus
  8. Semoga Dewo berjodoh dengan Laras.

    BalasHapus
  9. Semakin seru Ambu, membuat penasaran kelanjutannya.

    BalasHapus
  10. Bersambung. Saya akan ikuti sambungannya.

    BalasHapus
  11. Lampu hijau dari ibu
    Semoga berjodoh...
    Ditunggu sambungannya Ambu

    BalasHapus
  12. Mantap, Ambu. Semangat melanjutkan tulisan!

    BalasHapus
  13. Tiap kali datang ke web ini, saya mesti mencubit layar agar lebih jelas terbaca. Isinya sudah cukup bagus.

    BalasHapus
  14. Iya knp ya Mas, hurufnya kecil, pdhl sudaah pk font arial..

    BalasHapus
  15. Mantap Ambu. Cerita yang menarik. Ditunggu episode berikutnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENAHAN GODAAN

Kata, Rasa, dan Rupa Kehidupan dalam Akrostik

SEPULUH HARI PERTAMA DI TAHUN BARU Dalam Akrostik